Al-Qur’an
sebabagi sebuah kitab suci dan pedoman hidup kaum Muslimin telah,
sedang dan akan selalu ditafsirkan. Karena itu, dalam pandangan kaum
Muslimin tafsir al-Qur’an adalah istilah yang sangat mapan.
Bagaimanapun, akhir-akhir ini istilah hermeneutika al-Qur’an (Quranic hermeneutics) sering
digemakan oleh para orientalis dan para pemikir Muslimin modernis
seperti Hassan Hanafi, Fazlur Rahman, Mohamed Arkoun, Nasr Hamid Abu
Zayd, Amina Wadud Muhsin, Ashgar Ali Engineer, Farid Esack dan
lain-lain. Padahal istilah hermeneutika, adalah kosa kata filsafat
Barat, yang juga sangat terkait dengan interpretasi Bibel.
Karena
itu, hermeneutika tidaklah layak disinonimkan dengan tafsir al-Qur’an,
yang memiliki konsep yang jelas, berurat serta berakar di dalam Islam.
Hermeneutika dibangun atas faham relatifisme. Hermeneutika menggiring
kepada gagasan bahwa segala penafsiran al-Qur’an itu relative, padahal
fakta empiris menunjukkan para mufassir yang tekemuka sepanjang masa
tetap memiliki kesepakatan-kesepakatan. Jika hermeneutika tetap
digunakan sebagai sebuah sinonim terhadap tafsir, akan mengimplikasikan
bahwa berbagai problematika yang ada didalam hermeneutika, juga terjadi
di dalam al-Qur’an, padahal tidak seperti itu. Tulisan di bawah ini akan
mengungkap bahwa hermeneutika tidaklah layak untuk dianggap sebagai
tafsir. Bagaimana luasnya pembahasan mengenai tafsir didalam pemikiran
para ulama kita terdahulu juga akan dieksplorasi. Akhirnya, masih banyak
aspek y ang perlu digali dan diipelajari oleh kaum muslimin tentang
tafsir al-Qur’an, ketimbang mewarisi, mengadopsi dan memodifikasi
hermeneutika.
Sejarah Ringkas Tafsir al-Qur’an
Secara etimologis, kata tafsir ber-asal dari bahasa Arab,fassara, yang bermakna menerangkan atau menjelaskan. Kata tafsir disebutkan secara eksplisit di dalam surat al-Furqan(25:33) yang berbunyi sebagai berikut: wa la ya tunaka bimathalin illa ji aka bil-haqq wa ahsana tafsiran (Tidaklah
orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya).
Secara terminologis, tafsir merujuk kepada ilmu yang dengannya
pemahaman terhadadap Kitab Allah yang diturunkan kepada Rasulullah saw,
penjelasan mengenai makna-makna Kitab Allah dan penarikan hukum-hukum
beserta hikmahnya diketahui.
Hermeneutika
diasosiasikan kepada Hermes, seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani
Kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan Dewata yang
masih samar-samar ke dalam bahasa yang dipahami manusia. Peran Hermes
tersebut dianggap sinonim dengan peran Rasulullah saw yang menyampaikan
pesan Allah swt. Karena itu, hermeneutika dianggap sinonim dengan
tafsir. Bagaimanapun, logika ini terlalu simplistic. Bagaikan manusia
berkaki dua dan kanguru pun berkaki dua. Maka manusia sinonim dengan
kanguru! Padahal bukan saja fisiologi dan psikologi manusia yang berbeda
dengan kanguru, bahkan fisiologi kaki manusia jelas berbeda dengan
fisiologi kaki kanguru. Jadi, sebenarnya terdapat banyak perbedaan
antara tafsir dengan hermeneutika. Bahkan terdapat ketidakmungkinan jika
mengaplikasikan hermeneutika ke dalam tafsir al-Qur’an. Dari sisi
epistemologis, hermeneutika bersumber dari akal semata-mata. Jadi,
hermeneutika memuat zann (dugaan), shakk(keraguan), mira (asumsi),
sedangkan dalam tafsir, sumber epistimologi adalah wahyu al-Qur’an.
Karena itu, tafsir al-Qur’an terkait dengan apa yang telah disampaikan,
diterangkan dan dijelaskan oleh Rasulullah saw. Allah berfirman dalam
surat an-Nahl (16:44) sebagai berikut:(Telah
Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Kitab tersebut agar kamu jelaskan
kepada umat manusia tentang apa yang telah diturunkan (Allah kepada
mereka dan agar mereka memikirkannya). Maksud
yang sama juga disebutkan di dalam surat al-Nahl (16:44) sebagai
berikut: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) ini,
melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka
perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman. Begitu juga dengan surat an-Nisa (4:105) yang menyebutkan: ”Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya
kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat.”
Jadi,
Rasulullah saw menyampaikan, menerangkan dan menjelaskan isi al-Qur’an.
Jika ada diantara para sahabat yang berselisih atau tidak mengerti
mengenai kandungan al-Qur’an, mereka merujuk langsung kepada Rasulullah
saw mengenai makna sebuah ayat al-Qur’an sekaligus penjelasannya. Jadi,
akal tidak dibiarkan lepas landas, melanglang buana kemana-mana,
sebagaimana yang terjadi di dalam hermeneutika. Akal yang liberal tanpa
ikatan akan dengan mudah menyalahtafsirkan al-Qur’an. Akibatnya,
penyimpangan penafsiran. Menghindari hal-hal seperti itu, setelah
Rasulullah saw wafat, para sahabat menafsirkan al-Qur’an dengan sangat
hati-hati. Abu Bakr al-Siddiq misalnya mengatakan bumi mana yang
membawaku dan langit mana yang menaungiku jika aku mengatakan di dalam
Kitab Allah apa yang tidak kuketahui.
Para sahabat menafsirkan al-Qur’an dengan berpegang pada penafsiran yang diberikan oleh Rasulullah saw. Mereka mengetahui asbab-al-nuzul (sebab-sebab
yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur’an). ‘Abdullah ibn Mas’ud
mengatakan: Demi Tuhan yang tidak ada Tuhan selain-Nya, tidak ada ayat
dari Kitab Allah yang diturunkan melainkan aku lebih mengetahui kepada
siapa diturunkan dan dimana diturunkan. Seandainya aku tahu seseorang
yang lebih mengetahui daripadaku tentang cara-cara yang diterimanya
kitab Allah, niscaya aku mendatanginya.
Ketika
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, para sahabat pertama-tama m enelitinya
dalam al-Qur’an sendiri, karena ayat-ayat al-Qur’an satu sama lain
saling menafsirkan. Setelah itu, mereka merujuk kepada penafsiran
Rasulullah saw, sesuai dengan fungsi beliau sebagai penjelas terhadap
ayat-ayat al-Qur’an. Sekiranya penjelasan tentang ayat tertentu tidak
ditemukan di dalam al-Qur’an dan hadits, maka para sahabat berijtihad.
Ringkasnya, pada zaman para sahabat, ucapan, perbuatan, tindakan dan
keputusan Rasulullah saw dijadikan sandaran untuk menafsirkan al-Qur’an.
Setelah generasi Sahabat (tabi’in), para tabi’in menafsirkan
al-Qur’an dengan al-Qur’an, hadits Nabi dan pendapat para sahabat.
Setelah itu baru mereka mengembangkan penafsiran sendiri berdasarkan
ijtihad. Pada masa tabi’in,
tafsir belum merupakan sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Tafsir masih merupakan bagian dari hadits. Ini menunjukkan dengan jelas
bahwa tafsir t idaklah semena-mena, namun selalu terkait dengan apa yang
telah dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabat.
Para mufassir dari kalangan tabi’in, tersebar di berbagai lokasi. Tabi’in Mekkah
seperti Sa’id ibn Jubayr (m.95/714), Mujahid ibn Jabr (m. 104/722),
‘Ikrimah Maula ibn ‘Abbas (25-105 H), Tawus ibn Kisan al-Yamani dan ‘Ata
ibn Abi Ribah (m. 114/732) meriwayatkan dari ‘Ibnu Abbas. Tabi’inMedinah seperti Zayd ibn Aslam, Abi al-‘Aliyah dan Mulammad ibn Ka’ab al-Qurazi meriwayatkan dari Ubayy ibn Ka’ab. Tabi’in Iraq
seperti ‘Ilqimah ibn Qays, Masruq, al-Aswad ibn Yazid, Murah
al-Hamzani, ‘Amir al-Syabi, al-Hasan al-Basri, dan Qatadah ibn Di’amah
al-Suddusi meriwayatkan dari ‘Abdullah ibn Mas’ud. Buku tafsir yang
ditulis oleh para tabi’in belum ada yang sampai ke tangan generasi kita
sekarang. Memang ada buku tafsir yang sekarang sudah diterbitkan, yaitu Tafsir Mujahid, namun
buku tafsir ini bukan berarti ditulis oleh tangan Mujahid sendiri,
namun diriwayatkan oleh Abu Bisr Warqa ibn ‘Umar (m. 160/776) dari Ibnu
Abi Najih (m.132-750). Sebagaimana tafsir Ibnu ‘Abbas yang ditulis oleh
murid dan para pengikut Ibnu ‘Abbas.
Menurut
Ibnu Nadim, seorang sejarawan Muslim yang terkenal (m. 995), tafsir
yang sudah ditulis oleh pengarangnya sendiri dan termasuk yang paling
awal adalah karya Sa’id ibn Jubayr (m. 95/714), seorang Kibar al-tabi’in.
Karya ini ditulis atas permintaan ‘Abd al-Malik ibn Marwan (m. 84/703).
Tapi, karya ini belum sampai ke zaman kita sekarang. Karya tafsir
termasuk yang paling tua yang sampai ke tangan generasi sekarang dan
ditulis oleh pengarangnya sendiri adalah potongan dari al-Wujuh wa al-Naza’ir, karya Muqatil ibn Sulayman al-Balkhi (m. 150/763), seorang tabi al-tabi’in.
Di dalam karya tafsirnya, Muqatil menyebutkan beberapa orang mufassir
dari kalangan tabi’in seperti Sa’id ibnu Jubayr, Mujahid ibn Jabr dan
Dahhak ibn Muzahim (m. 105/723). Sa’id ibn Jubayr dan Mujahid ibn Jabr
adalah murid langsung dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Selain karya tersebut,
Muqatil juga menulis beberapa karya tafsir yang lain seperti tafsirKhamsumi’ah ayat min al-Qur’an, al-Tafsir fi Mutashabih al-Qur’an dan al-Tafsir al-Kabir. Pada
zamannya, tafsir Muqatil termasuk karya yang dijadikan panduan bagi
para ulama lain. Sufyan ibn ‘Uyaynah (107-198/725-814) misalnya,
mempelajari karya Muqatil. Shafi’i (m. 204/820) juga punya akses ke
tafsir Muqatil. Ia menganggap Muqatil sebagai pemimpin di dalam kajian
literatur tafsir. Beberapa salinan tafsir Muqatil terus beredar di abad
ketiga dan dipelajari oleh para ulama seperti Imam Ahmad ibn Hanbal
(213-290/828-903).
Selain
itu, pada abad kedua hijriyah, sudah terdapat banyak mufassir lain yang
sezaman dengan Muqatil. Diantaranya adalah ‘Abd al-Rahma al-Suddi (m.
127/744), Muhammad ibn al-Sa’ib al-Kalbi (m. 146/763), Shu’bah ibn
al-Hajjaj (83-160/702-776), Sufyan al-Thauri (m. 161/778) dan Ibnu
Ishaq, pengarang buku Sirah yang terkenal.
Selain
karya Muqatil, berbagai karya tafsir awal yang dinisbatkan kepada para
pengarangnya juga sudah beredar. Diantaranya karya tafsir yang
dinisbatkan kepada ‘Abdullah ibn Wahb (m. 197/812); al-Farra (m.
207/822) dengan karyanya Ma’ani al-Qur’an; ‘Abdurrazzaq al-San’ani dengan karya Tafsir al-Qur’an (m. 211/827) dengan karyanya Ma’ani al-Qur’an.
Bagaimanapun,
sejak dari abad pertama sampai abad ketiga hijriyah, berbagai buku
tafsir al-Qur’an tersebut belum ada yang memuat tafsir al-Qur’an secara
utuh. Penafsiran al-Qur’an secara keseluruhan baru bermula pada abad
keempat hijriah. Ini pertama kalinya dipelopori oleh Ibnu Jarir
al-Tabari (m. 310/922) yang menulis Jami’ al-Bayan ‘an ta’wil al-Qur’an (Kumpulan Penjelasan Mengenai Tafsir al-Qur’an).
Di dalam karyanya, al-Tabari mengumpulkan segala berita dari para
otoritas sebelumnya yang berkaitan dengan al-Qur’an. Al-Tabari
menggunakan system isnad untuk menafsirkan al-Qur’an. Tujuannya supaya
penafsiran itu tidak sembarangan dan tetap bersandar kepada penafsiran
yang otoritatif. Jadi, dalam menafsirkan al-Qur’an, al-Tabari
mengumpulkan berbagai hadits, pernyataan para sahabat dan tabi’in. Pendekatan al-Tabari yang menggunakan hadits-hadits, pendapat para sahabat dan para tabi’in, diikuti oleh para mufassir yang lain khususnya oleh Ibnu Kathir (m. 774 H/1377) dengan Tafsir al-Qur’an al-Karim; Jalaluddin al-Suyuti (m. 911 H/1505) dengan tafsirnya al-Dhurr al-Manthur fi al-Tafsir bi al-Ma’thur.
Setelah
al-Tabari, muncul berbagai penekanan pendekatan yang lain ketika
menafsirkan al-Qur’an. Penekanan dari aspek bahasa diantaranya dilakukan
oleh al-Zajjaj (m. 311 H) dalam tafsirnya Ma’ani al-Qur’an; al-Wahadi (m. 468 H) dalam tafsirnya al-Basit; dan Abu Hayyan Muhammad ibn Yusuf al-Andalusi dalam tafsirnya al-Bahr al-Muhit. Dari penekanan sisi teologis penafsiran al-Qur’an dilakukan diantaranya oleh al-Zamakshari (m. 406/1016) dengan al-kashshaf ‘an haqa ‘iq ghawamid al-tanzil (Penyingkap Realitas Rahasia-Rahasia Wahyu); Fakhruddin al-Razi (m. 610/1210) dengan Mafatih al-Ghayb (Kunci-Kunci yang Ghaib); dan al-Baydawi denganAnwar al-tanzil wa asrar al-ta’wail (Cahaya-cahaya wahyu dan Rasia-Rahasia Takwil). Penekanan terhadap aspek hukum dilakukan oleh al-Jassas (m. 370/981) dengan karyanyaAhkam al-Qur’an; Ibnu al-‘Arabi (m. 543/1148) dengan karyanya Ahkam al-Qur’an; al-Qurtubi (m. 671/1272) dengan karyanya Jami’ Ahkam al-Qur’an.
Penekanan terhadap isyarat-isyarat al-Qur’an yang berhubungan dengan
ilmu tasauf misalnya disusun oleh Abu Muhammad Sahl ibn ‘Abdullah
al-Tasturi dengan karyanya yang disebut dengan tafsir al-Tasturi.
Selain itu, ada juga diantara para mufassir yang menitikberatkan kepada
penyaringan dan penapisan cerita-cerita terdahulu yang berasal dari
orang-orang Yahudi dan Nasrani. Para mufassir yang termasuk dalam
kategori ini diantaranya adalah ‘Alauddin ibn Muhammad al-Baghdadi
al-Thalabi (m. 741 H) dan tafsri al-Khazin dengan karyanyaLubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil.
Pemaparan
ringkas di atas meunjukkan bahwa tafsir beserta ilmu-ilmu untuk
menafsirkan al-Qur’an telah menjadi sebuah disipln ilmu yang sangat
matang. Ia adalah bagian yagn tidak terpisahkan dari Islam. Ia sudah
berkembang sejak wahyu belumpun diturunkan secara sempurna. Selain itu,
para mufassir terkemuka bersepakat dalam berbagai perkara. Masalah
penyaliban Nabi Isa as, misalnya, tidak ada seorang pun mufasir dari
dulu sampai sekarang yang berpendapat bahwa Nabi Isa a.s. mati di tiang
salib. Begitu juga, para mufassir yang berwibawa bersepakat dalam
berbagai perkara seperti, tidak boleh wanita muslimah berkawin dengan
orang kafir; Allah itu satu, malaikat, surga, Negara dan kiamat itu
semuanya ada dan pasti. Jadi, pernyataan bahwa tafsir itu relative
adalah kekeliruan sekalipun terdapat beratus-ratus buku tafsri yang
membahas masalah-masalah tersebut.
Berbeda
dengan sejarah tafsir yang sudah begitu mapan di dalam Islam,
hermeneutika muncul didalam konteks peradaban Barat, yang didominasi
oleh konsep ilmu yang skeptik. Karena itu, konsep yang ditawarkan oleh
para hermeneut tentang
makna, kandungan, teori hermeneutika itu sendiri terus-menerus
mengalami berbagai perobahan, perbedaan dan bahkan pertentangan. Konsep
hermeneutika Friedrich D.E. Schleirmacher, seorang pendiri teologi
Protestant Modern, misalnya, diubah dan dikritik oleh para hermeneut yang
lain seperti Wilhem Dilthey, Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas,
Hirsch, Emilio Betti dan lain-lain. Teori mereka tentang hermeneutika
dibangun atas spekulasi akal. Karena itu, konsep dan teori mereka tidak
akan jelas sebagaimaa penggunaan akal di dalam tafsir yang selalu
terkait dengan al-Qur’an dan hadits-hadits dari Rasulullah saw. Karena
itu, fenomena berbagai kesepakatan di antara berbagai mufassir tentang
berbagai perkara masih ada di dalam tafsir. Hal seperti ini tidak
terjadi didalam sejarah hermeneutika, yang selalu mencari-cari kebenaran
dengan tidak pernah berhenti mencari. Hasilnya, kebenaran tidak pernah
akan dijumpai karena proses mencari yang tanpa henti. Dasr filosofis
hermeneutic dijiwai oleh pemikiran skeptik.
Ulumul Qur’an dan Kredibilitas Mufassir
Selain tafsir al-Qur’an, ilmu-ilmu yang membantu dalam menafsirkan al-Qur’an (‘ulum al-Qur’an)
juga sudah wujud dengan s angat mapan. Kajian secara lebih khusus dan
sistematis mencakup berbagai aspek di dalam al-Qur’an seperti al-qira’ah (ragam-bacaan al-Qur’an); tarikh al-Qur’an(sejarah al-Qur’an); asbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya wahyu); al-nasikh wal-mansukh (ayat-ayat yang mengabrogasi dan yang terabrogasi); al-muhkam wal-mutashabbih (ayat-ayat yang jelas dan ayat yang samar-samar di dalam al-Qur’an);ahkam al-Qur’an (hukum-hukum al-Qur’an); I’jaz al-Qur’an(keagungan al-Qur’an); I’rab al-Qur’an (analisa grammar al-Qur’an); ghara ‘ib al-Qur’an (poin-poin yang menakjubkan di dalam al-Qur’an); fada ‘il al-Qur’an (kehebatan al-Qur’an);mushkil al-Qur’an (ayat-ayat yang sulit di dalam al-Qur’an);amthal al-Qur’an (perumpamaan-perumpamaan al-Qur’an),mufradat al-Qur’an (kosa-kata al-Qur’an), al-wujuh wa al-naza’ir fi al-Qur’an (makna al-Qur’an) dan sebagainya.
Banyak pembahasan mengenai qira’ah telah dibahas oleh para ulama kita terdahulu. Abu ‘Ubayd (m. 224/838), misalnya, telah membahas masalah ini didalam karyanya fada ‘il al-Qur’an. Pembahasan lebih mendalam mengenai qira’ah juga dilakukan oleh Ibnu Mujahid (m. 324 H) yang menulis al-Sa’ah fi al-qira’at. Setelah itu banyak sekali literatur tentangqira’ah seperti Abu al-Hasan (m. 399 H) dengan karyanyaKitab al-Tadhkirah fi Qira’at al-thaman; Muhammad ibn Ja’far al-Khiza’i (m. 408 H) dengan karyanya Kitab al-Muntaha fi al-Qira’at al-‘ashr; Makki ibn Abi Talib al-Qays (m. 430 H) dengan karyanya Kitab al-Tabsirah; Muhammad ibn Ibrahim al Baghdadi al-Maliki (m. 438 H) dengan karyanya Kitab al-Raudah fi al-Qira’at Ihday ‘ashr; Al-Dani (m. 444) dengan karyanya Kitab al-Taysir dan juga Kitab Jami al-Bayan fi al-Qira’at al-Sab; Abu Muhammad al-Shatibi (m. 590/1194) dengan karyanya Hirzul amani wa wajh al-tahani; al-Sakhawi (m. 643) dengan karyanya Kitab Jamal Qurra wa Ikmal iqra’; Ibnu al-Jazari dengan karyanya al-Nashr fi al-qira’at al-‘ashr; dan banyak lagi kitab-kitabqira’ah yang lain.
Pembahasan mengenai nasikh wa mansukh juga telah banyak sekali dilakukan oleh para sarjana Muslim terdahulu. FihristIbnu Nadim misalnya menyebutkan berbagai nama yang sudah membahas secara mendalam mengenai nasikh wa mansukh. Abu Ubayd (m. 224/838) menulis Kitab al-nasikh wa al-mansukh;al-Nahhas (m. 338/950), Hibatullah (m. 410/1019); ‘Abdul Qahir al-Baghdadi (m. 429/1037) semua menulis buku dengan berjudul al-nasikh wa al-mansukh; Begitu juga dengan Makki al-Qaysi (430/1038) yang menulis al-Idah li nasikh al-Qur’an wa mansukhihi; al-Hazimi (m. 584/1188) dengan karyanya al-I’tibar fi bayan al-nasikh wa al-mansukh min al-athar dan banyak lagi karya yang lain.
Pembahasan mengenai asbab al-nuzul juga
telah banyak dibahas oleh para ulama kita terdahulu. Disebutkan bahwa
‘Ikrimah (m. 105/723) dan al-Hasan al-Basri (m. 110/728) telah menulis Nuzul al-Qur’an; ‘Ali ibn al-Madini (m. 234/848) telah menulis Kitab al-Tanzil; Abdurrahman ibn Muhammad Abu al-Matarrif al-Andalusi (m. 402/1011) menulis al-Qisas wa al-as-bab al-lati nazala min ajliha al-Qur’an; Isma’il ibn Ahmad al-Nisaburi (m. 430/1038). Selain itu, karya asbab al-nuzul yang sampai ke tangan kita adalah karya al-Wahidi al-Nisaburi (m. 468/1075) Kitab asbab nuzul al-qur’an; Muhammad ibn As’ad al-‘Iraqi (m. 567/1171) dengan karyanya Asbab al-nuzul wa qisas al-furqaniyyah; al-Suyuti (m. 911/1505) dengan karyanya Lubab al-Nuqul fi asbab al-nuzul; dan lain sebagainya.
Pembahasan mengenai muhkam dan mutashabbiih misalnya, telah dilakukan oleh al-Kisa’I (m. 187/803) yang menulis tentangMutashabih al-Qur’an; Pembahasan mengenai Majaz al-Qur’antelah dilakukan oleh Abu ‘Ubaydah (m. 210/825); Ibnu Quraybah (m. 276/889) menulis tentang Mushkil al-Qur’andan Gharib al-Qur’an;
dan sebagainya. Kajian yang mendalam tentang berbagai segi al-Qur’an
tersebut lambat laun menjadi dasar bagi terbentuknya disiplin ilmu-ilmu
al-Qur’an. Al-Baqillani (m. 1012 M) di dalam karyanya Nukat al-Intisar li-naql al-Qur’an (Permata
Pertolongan di Dalam Periwayatan al-Qur’an) menyusun dan
mereformulasikan kembali berbagai sisi dari al-Qur’an yang sudah dibahas
oleh para sarjana Muslim sebelumnya. Usaha seperti al-Baqillani,
dilakukan juga oleh al-Zarkashi (m. 1391 M) di dalam karyanya al-Burhan fii ‘Uluym al-Qur’an (Kriteria
untuk ilmu-ilmu al-Qur’an). Al-Suyuti, dengan banyak mengutip
al-Zarkashi menulis juga pendapatnya tentang ilmu-ilmu al-Qur’an di
dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Keyakinan terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an).
Ilmu-ilmu
yang disebutkan di atas perlu dimiliki oleh para mufassir. Karena itu,
isi kandungan al-Qur’an tidak bisa ditafsirkan semena-mena. Para
mufassir harus memiliki kredibilitas supaya tidak menyebabkan
penyimpangan penafsiran. Jika ayat-ayat al-Qur’an ditafsirkan sesuka
hati oleh siapa saja, maka akan terjadi banyak kebingungan dan kerancuan
penafsiran. Hal-hal seperti ini sudah dilakukan oleh banyak kelompok
seperti Inkar Sunnah, Ahmadiyyah dan lain-lain yang menafsirkan sesuai
dengan kepentingan kelompok mereka. Menghindari berbagai dampak seperti
itu, maka para penafsir al-Qur’an harus memenuhi berbagai pra-syarat
sebelum menafsirkan al-Qur’an. Pra-syarat ini juga membedakan tafsir
dengan hermeneutika.
Berdasarkan kepada perkembangan tafsir dan berbagai aspek di dalam tafsir, maka penguasaan terhadap berbagai bidangulumul qur’an menjadi
sebuah keharusan bagi seorang mufassir. Al-Suyuti menetapkan 15 bidang
ilmu yang diibaratkan sebagai alat bantu membedah maksud al-Qur’an
supaya tidak terjadi penyimpangan. Al-Suyuti menyebutkan bahwa seorang
mufassir harus menguasai bahasa; nahw;
sarf; istishqaq; ma’ani; bayan; badi’; qira’ah; usuluddin; usul
al-fiqh; asbab al-nuzul dan qisas; nasikh dan mansukh; fiqh; hadits-hadits yang menerangkan al-Qur’an dan ilmu yang dianugerahkan Allah dan mengamalkan ilmu-ilmunya.
Saat
ini, orientalis pun sangat getol menafsirkan al-Qur’an. Karena itu,
sangat banyak sekali ditemukan penafsiran yang memuat kepentingan
mereka. Padahal, para ulama kita sejak dahulu sudah menetapkan bahwa
diantara syarat-syarat para mufassir adalah berkaitan dengan
keberagamaan dan akhlak, yaitu memiliki akidah yang sahih, komitmen
dengan kewajiban agama dan akhlak Islam. Al-Tabari, misalnya,
mengemukakan bahwa syarat utama seorang penafsir adalah akidah yang
benar dan komitmen mengikut sunnah. Orang yang akidahnya cacat tidak
bisa dipercayai untuk mengemban amanah yang berkaitan dengan urusan
keduniawian apalagi urusan keagamaan. Al-Suyuti mengatakan bahwa sikap
takabbur, cenderung kepada bid’ah, tidak tetap iman dan mudah goyah
dengan godaan, cintakan dunia yang berlebihan dan terus-menerus
melakukan dosa bisa menjadi hijab dan penghalang dari menerima anugerah
ilmu Allah swt.
Kredibilitas
mufassir tersebut bertujuan membatasi penyimpangan yang mungkin berlaku
di dalam menafsirkan al-Qur’an. Sehingga tidak sembarangan orang b
olehi menafsirkan al-Qur’an. Selain itu, tafsiran juga telah dibatasi
oleh berbagai perkara, supaya penyimpangan penafsiran tidak dengan mudah
berlaku. Hal-hal seperti ini tidak ada didalam hermeneutika, yang
membuka penafsiran seluas mungkin bagi siapa saja untuk
menginterpretasikan teks.
Kesimpulan
Setelah
mengeksplorasi betapa luasnya pembahasan yang telah dilakukan oleh para
ulama kita terdahulu mengenai tafsir, maka konsep Hermeneutika yang
saat ini sedang begitu semarak dipropagandakan, bisa menjadi tidak
mungkin untuk diaplikasikan kepada tafsir. Gagasan Schleirmacher bahwa
penafsir bisa lebih mengerti lebih baik daripada pengarang sangat tidak
tepat untuk diaplikasikan kepada al-Qur’an. Tidak seorang pun di
kalangan para mufassir akan mengatakan bahwa dia akan lebih mengerti
daripada pengarang al-Qur’an, Allah swt.
Begitu
juga gagasan Wilhem Dilthey yang menggambarkan bahwa pengarang tidak
mempunyai otoritas atas makna teks, tapi sejarahlah yang menentukan
maknanya. Pendapat seperti ini jelas tidak bisa diaplikasikan di dalam
tafsir. Bagi para mufassir, Allah swt. sebagai pengarang al-Qur’an,
justru mengubah sejarah, bukan malah dipengaruhi oleh sejarah. Al-Qur’an
telah mengislamisasikan struktur-struktur konseptual, bidang-bidang
semantic dan kosa kata –khususnya istilah-istilah dan konsep-konsep
kunci- yang digunakan untuk memproyeksikan bukan pandangan hidup Islam.
Kata penghormatan (muruwwah) dan kemuliaan (karim) sudah
ada sebelum Islam. Kata-kata tersebut pada zaman Jahiliah termasuk
kata-kata yang penting dalam pandangan hidup Jahiliah. Kata-kata
tersebut sangat terkait dengan memiliki banyak anak, harta dan karakter
tertentu yang merefleksikan kelelakian. Al-Qur’an mengubah semua ini
dengan sangat mendasar dengan memperkenalkan faktor kunci, ketakwaan (taqwa).
Al-Qur’an menyebutkan: “Sesungguhnya yang paling Mulia di sisi Tuhanmu
adalah orang yang paling bertakwa.” Lebih lanjut, orang-orang Arab
sebelum Islam tidak pernah menghubungkan kemuliaan dengan buku-buku,
kata-kata (words or speech),
sekalipun mereka sangat menghargai kemampuan mengarang dan membaca
puisi. Al-Qur’an menghasilkan perubahan semantik yang dasar ketika
kemuliaan diasosiasikan dengan kitab suci Al-Qur’an: kitab karim, atau
dengan perkataan yang baik kepada orang tua (qawl karim). Contoh lain terjadi juga kepada kata persaudaraan (ikhwah),
yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan kesukuan, yang terkait dengan
darah, dan tidak merujuk kepada makna yang lain. Al-Qur’an lagi-lagi
mengubah ini dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun
atas dasar k eimanan, yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah.
Begitu
juga dengan gagasan Gadamer yang menyatakan bahwa penafsir dan teks
senantiasa terikat oleh konteks tradisinya masing-masing. Penafsir
tidakmungkin melakukan penafsiran dari sisi yang netral. Penafsiran
merupakan “reinterpretation”, memahami lagi teks secara baru dan makna
baru pula.
Pendapat
Gadamer seperti disebutkan di atas akan menggambarkan bahwa para
penafsir tidak akan terlepas daripada latar belakang situasi budaya dan
sosial. Bagi kaum Muslimin, para mufassir baik dulu, sekarang dan akan
datang tidak terjebak dengan latar belakang sosial dan budaya. Tafsir
yang dilakukan melampaui batas budaya lokal. Oleh sebab itu, masih
terdapat banyak kesepakatan diantara para mufassir, sekalipun latar
belakang sosial dan budaya mereka berbeda.
Ringkasnya,
ilmu tafsir masih tetap relevan digunakan di dalam studi Islam dan
hermeneutika tidaklah sesuai untuk diterapkan ke dalam studi tafsiryang
sudah berjalan mapan dalam Islam. Al-Qur’an adalah final, tetap dan
tidak berubah. Otentisitas al-Qur’an terjaga. Bahasa asal al-Qur’an
tidak mengalami perubahan. Berbeda dengan al-Qur’an, teks bibel adalah
tidak final, tidak tetap dan berubah-ubah. Terdapat beragam versi bibel.
Bahasa asal Perjanjian Baru, misalnya, sudah mengalami berbagai
perubahan. Dari bahasa Yunani kuno, berubah kepada bahasa Latin, berubah
kepada bahasa Inggris dan berubah lagi kepada berbagai bahasa lain.
Karena itu, hermeneutika diperlukan untuk mengetahui makna asal dari
Perjanjian Baru. Wallahu’alam. (Adnin Armas, MA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar