Alkisah, pada suatu musim haji, dua malaikat bercakap-cakap di dekat Ka,bah di Masjidil haram.
- Berapa jumlah orang yang naik haji tahun ini?
- Enam ratus ribu.
- Berapa yang diterima hajinya?
- Hanya dua orang, salah satunya bahkan tidak menunaikan hajinya ke sini.
Kisah
bernuansa sufi itu dinisbatkan kepada ulama Abdullah bin Mubarak yang
bermimpi bertemu dua malaikat saat ia tidur di dekat Ka’bah. Dalam mimpi
itu, malaikat menyatakan, seseorang yang tidak pergi, tetapi diterima
hajinya itu adalah Ali bin Al Mufiq, orang Damaskus.
Belakangan,
Abdullah pun mencarinya. Ternyata Al Mufiq adalah tukang semir sepatu
yang menyerahkan 3000 dinar hasil jerih payah yang ditabungnya untuk
bekal haji kepada seorang tetangga dengan anak-anak yang sudah tiga hari
kelaparan.
Esensi Haji
Itu
dulu. Itu di Damaskus. Di Indonesia, yang terjadi sekarang ini berbeda.
Di media sosial Twitter terbetik pembicaraan bahwa meski tiap tahun
jumlah jemaah haji kita terus meningkat, agaknya banyak di antara mereka
adalah para koruptor yang menganggap bisa mencuci uang haramnya di
Masjidil Haram.
Namun,
ulama bilang, “Mereka beranggapan sepulang haji akan bersih dari dosa,
padahal haji yang dibiayai uang haram sama sekali tak akan diterima.”
Bahkan, seorang yang pergi haji, tetapi membiarkan tetangganya yang
kelaparan pun tidak akan mabrur sekalipun uang yang dipakai berhaji itu
uang halal.
Mungkin saja mereka lupa pada salah satu esensi ajaran Islam berupa Tauhid al Ibadah, sebagaimana dicontohkan Ibrahim as
dan keluarganya. Mungkin mereka lupa haji itu sebuah cermin pernyataan
tekad tentang kesiapan menghamba hanya kepada Tuhan, bukan kepada uang
atau kekuasaan, yang secara tegas diwujudkan dalam kalimat talbiyah: Labbayk Allaahumma Laka Labbayk! Haji itu sebuah penelusuran sejarah pengabdian Ibrahim as dan keluarganya, sebuah ‘tapak tilas’ pengorbanan bagi orang lain, demi ibadah kepada Tuhan Yang Mahaagung.
Al
Qur’an menggambarkan secara tegas bahwa Ibrahim, istrinya, dan
putranya, Ismail, adalah orang-orang yang menyerahkan diri sepenuhnya
kepada Tuhan sehingga perintah apa pun akan mereka jalani meski hal itu
bertentangan dengan perasaan atau pikiran mereka. Kata Ibrahim dalam
doanya, “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku, hidup dan matiku
kepunyaan Allah Rab al Alamiin…” Ismail juga demikian: siap disembelih
sesuai dengan perintah Allah. Bagi Ibrahim dan keluarganya, penyerahan
total, Tauhid al Ibadah, itu adalah siap mengorbankan nyawa Ismail di
meja sembelihan.
Namun,
belakangan Allah gantikan nyawa Ismail dengan “Penyembelihan Agung” (bi
dzibhin ‘azhiim). Ahli tafsir memaknai frase “Penyembelihan Agung”
dalam Al Qur’an bukan sekadar penukaran Ismail dengan seekor domba (mana
mungkin kambing lebih agung dari nyawa seorang Nabi?), melainkan berupa
pemenggalan anak-cucu Ismail, yakni Al Husain as.
Sejarah
mencatat, pada 10 Muharram 61 Hijriah (8 Januari 680 M) Al Husain mati
syahid dengan kepala terpenggal akibat penentangannya terhadap penguasa
Bani Umayyah yang tiran, Yazid bin Mu’awiyah. Al Husain adalah cucu Nabi
Muhammad saw. Ia dan abangnya, Al Hasan as, adalah anak-anak putri
Nabi, Siti Fathimah as, yang menikah dengan khalifah ke-4, Ali bin Abi
Thalib. Berhubung Nabi Muhammad saw adalah cucu Nabi Ismail as, dalam
sebuah hadisnya, Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa “Husain dari aku dan
aku dari Husain.”
Lama
sebelum itu, Husain mengetahui bahwa mayoritas Muslim menentang
kekuasaan Yazid. Tak kurang dari 12000 pucuk surat diterima Husain dari
penduduk Irak, Yaman, dan negeri lain; semua menolak kepemimpinan Bani
Umayyah yang penuh korupsi, kolusi, dan nepotisme itu.
Sesudah
dicincang tentara yang dipimpin Shimr bin Dziljawhan, kepala Husain
dipermainkan bagai bola, digiring bersama putranya (yang sakit) Ali
Zainal Abidin – yang jadi kakek moyang para sayyid di dunia, termasuk
para habib di Indonesia – dan para tawanan wanita keluarga Nabi Muhammad
saw, menuju istana Yazid di Damaskus, tempat ia biasa mabuk-mabukkan
dan bercengkerama dengan monyetnya.
Sebetulnya
Husain telah berada di Makkah sekitar tiga bulan sebelum musim haji,
tetapi ia membatalkan hajinya. Itu dilakukannya untuk menunjukkan,
memerangi penguasa zalim, memperjuangkan keadilan, dan melepaskan rakyat
yang lemah (mustadh’affin) dari penderitaan sebagai sebuah tindakan yang lebih penting.
Sekiranya Husain bersama 72 pengikutnya tak memerangi pasukan Yazid saat itu, barangkali brand
Islam bakal berantakan, menjadi “Islam” yang ditentukan oleh diktator
dan koruptor. Bukan Islam yang penuh akhlak mulia, yang menjunjung
keadilan dan kekuatan pembebas manusia dari belenggu kemiskinan,
kebodohan, dan kezaliman.
Kesyahidan
Husain pada 10 Muharram – lazim disebut ‘Asyura’ – itu kini jadi
legenda di dunia, baik di kalangan penganut Syiah maupun Sunni. Di
Indonesia, misalnya, orang tabu mengadakan pesta (perkawinan, misalnya)
pada bulan Syura. Saat itu, di banyak tempat seperti di Pariaman,
Sumatera Barat, masyarakat memperingatinya dengan acara Tabot atau
Tabuik, sementara anak-anak yatim – mulai dari Aceh, Jawa, hingga
Kalimantan dan Sulawesi – dijamu makanan semacam bubur merah-putih.
Berkorban untuk Sesama
Keteladanan
Husain itu jadi relevan untuk dikenang saat memperingati hari raya
(Kurban) sekarang ini. Pertama, menjadikannya salah satu cermin beragama
di “jalan lurus”. Kedua, mengajarkan, berkorban diri untuk
menggembirakan orang lain merupakan budi pekerti yang utama dalam Islam.
Kata Nabi Muhammad saw, “Aku diutus menyempurnakan akhlak.”
Kepergian
Husain untuk berperang melawan 4000-an pasukan bersenjata (bukan
seperti teroris yang membunuh kaum sipil tak berdosa dan tanpa senjata),
sebagaimana kesiapan Ismail as untuk mati, jadi teladan bahwa berkorban untuk orang lain sangat utama nilainya dibandingkan dengan ibadah ritual.
Nabi
Muhammad saw sendiri mengajarkan, orang yang menyantuni janda dan orang
miskin, misalnya, mendapat pahala seperti pejuang di jalan Allah,
seperti halnya orang yang terus-menerus shalat malam dan terus-menerus
puasa. Demikian pula mencari ilmu satu hari lebih utama nilainya
dibandingkan dengan puasa tiga bulan. Sebaliknya, tidaklah beriman orang
yang tidur kenyang, sementara tetangganya kelaparan.
Walhasil,
kita jadi bertanya, apakah koruptor yang berhaji masih bisa merasa
tenang ketika masyarakat di sekeliling mereka, yang miskin dan
terpinggirkan, akan menuntut haknya kepada Tuhan-nya orang lemah (Rabb al Mustadh’affin)? Islam menegaskan, doa kaum mustadh’affin atau tertindas sangat mustajab, apalagi jika para malaikat mengamini doa mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar