Kamis, 05 April 2012

Sisi Lain Pengorbanan; Antara Ibadah Ritual dan Ibadah Sosial

Alkisah, pada suatu musim haji, dua malaikat bercakap-cakap di dekat Ka,bah di Masjidil haram.
- Berapa jumlah orang yang naik haji tahun ini?
- Enam ratus ribu.
- Berapa yang diterima hajinya?
- Hanya dua orang, salah satunya bahkan tidak menunaikan hajinya ke sini.
 
Kisah bernuansa sufi itu dinisbatkan kepada ulama Abdullah bin Mubarak yang bermimpi bertemu dua malaikat saat ia tidur di dekat Ka’bah. Dalam mimpi itu, malaikat menyatakan, seseorang yang tidak pergi, tetapi diterima hajinya itu adalah Ali bin Al Mufiq, orang Damaskus.
Belakangan, Abdullah pun mencarinya. Ternyata Al Mufiq adalah tukang semir sepatu yang menyerahkan 3000 dinar hasil jerih payah yang ditabungnya untuk bekal haji kepada seorang tetangga dengan anak-anak yang sudah tiga hari kelaparan.
 
Esensi Haji
Itu dulu. Itu di Damaskus. Di Indonesia, yang terjadi sekarang ini berbeda. Di media sosial Twitter terbetik pembicaraan bahwa meski tiap tahun jumlah jemaah haji kita terus meningkat, agaknya banyak di antara mereka adalah para koruptor yang menganggap bisa mencuci uang haramnya di Masjidil Haram.
 
Namun, ulama bilang, “Mereka beranggapan sepulang haji akan bersih dari dosa, padahal haji yang dibiayai uang haram sama sekali tak akan diterima.” Bahkan, seorang yang pergi haji, tetapi membiarkan tetangganya yang kelaparan pun tidak akan mabrur sekalipun uang yang dipakai berhaji itu uang halal.
 
Mungkin saja mereka lupa pada salah satu esensi ajaran Islam berupa Tauhid al Ibadah, sebagaimana dicontohkan Ibrahim as dan keluarganya. Mungkin mereka lupa haji itu sebuah cermin pernyataan tekad tentang kesiapan menghamba hanya kepada Tuhan, bukan kepada uang atau kekuasaan, yang secara tegas diwujudkan dalam kalimat talbiyah: Labbayk Allaahumma Laka Labbayk! Haji itu sebuah penelusuran sejarah pengabdian Ibrahim as dan keluarganya, sebuah ‘tapak tilas’ pengorbanan bagi orang lain, demi ibadah kepada Tuhan Yang Mahaagung.
Al Qur’an menggambarkan secara tegas bahwa Ibrahim, istrinya, dan putranya, Ismail, adalah orang-orang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan sehingga perintah apa pun akan mereka jalani meski hal itu bertentangan dengan perasaan atau pikiran mereka. Kata Ibrahim dalam doanya, “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku, hidup dan matiku kepunyaan Allah Rab al Alamiin…” Ismail juga demikian: siap disembelih sesuai dengan perintah Allah. Bagi Ibrahim dan keluarganya, penyerahan total, Tauhid al Ibadah, itu adalah siap mengorbankan nyawa Ismail di meja sembelihan.
 
Namun, belakangan Allah gantikan nyawa Ismail dengan “Penyembelihan Agung” (bi dzibhin ‘azhiim). Ahli tafsir memaknai frase “Penyembelihan Agung” dalam Al Qur’an bukan sekadar penukaran Ismail dengan seekor domba (mana mungkin kambing lebih agung dari nyawa seorang Nabi?), melainkan berupa pemenggalan anak-cucu Ismail, yakni Al Husain as.
 
Sejarah mencatat, pada 10 Muharram 61 Hijriah (8 Januari 680 M) Al Husain mati syahid dengan kepala terpenggal akibat penentangannya terhadap penguasa Bani Umayyah yang tiran, Yazid bin Mu’awiyah. Al Husain adalah cucu Nabi Muhammad saw. Ia dan abangnya, Al Hasan as, adalah anak-anak putri Nabi, Siti Fathimah as, yang menikah dengan khalifah ke-4, Ali bin Abi Thalib. Berhubung Nabi Muhammad saw adalah cucu Nabi Ismail as, dalam sebuah hadisnya, Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa “Husain dari aku dan aku dari Husain.”
 
Lama sebelum itu, Husain mengetahui bahwa mayoritas Muslim menentang kekuasaan Yazid. Tak kurang dari 12000 pucuk surat diterima Husain dari penduduk Irak, Yaman, dan negeri lain; semua menolak kepemimpinan Bani Umayyah yang penuh korupsi, kolusi, dan nepotisme itu.
Sesudah dicincang tentara yang dipimpin Shimr bin Dziljawhan, kepala Husain dipermainkan bagai bola, digiring bersama putranya (yang sakit) Ali Zainal Abidin – yang jadi kakek moyang para sayyid di dunia, termasuk para habib di Indonesia – dan para tawanan wanita keluarga Nabi Muhammad saw, menuju istana Yazid di Damaskus, tempat ia biasa mabuk-mabukkan dan bercengkerama dengan monyetnya.
 
Sebetulnya Husain telah berada di Makkah sekitar tiga bulan sebelum musim haji, tetapi ia membatalkan hajinya. Itu dilakukannya untuk menunjukkan, memerangi penguasa zalim, memperjuangkan keadilan, dan melepaskan rakyat yang lemah (mustadh’affin) dari penderitaan sebagai sebuah tindakan yang lebih penting.
 
Sekiranya Husain bersama 72 pengikutnya tak memerangi pasukan Yazid saat itu, barangkali brand Islam bakal berantakan, menjadi “Islam” yang ditentukan oleh diktator dan koruptor. Bukan Islam yang penuh akhlak mulia, yang menjunjung keadilan dan kekuatan pembebas manusia dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan kezaliman.
 
Kesyahidan Husain pada 10 Muharram – lazim disebut ‘Asyura’ – itu kini jadi legenda di dunia, baik di kalangan penganut Syiah maupun Sunni. Di Indonesia, misalnya, orang tabu mengadakan pesta (perkawinan, misalnya) pada bulan Syura. Saat itu, di banyak tempat seperti di Pariaman, Sumatera Barat, masyarakat memperingatinya dengan acara Tabot atau Tabuik, sementara anak-anak yatim – mulai dari Aceh, Jawa, hingga Kalimantan dan Sulawesi – dijamu makanan semacam bubur merah-putih.
 
Berkorban untuk Sesama
Keteladanan Husain itu jadi relevan untuk dikenang saat memperingati hari raya (Kurban) sekarang ini. Pertama, menjadikannya salah satu cermin beragama di “jalan lurus”. Kedua, mengajarkan, berkorban diri untuk menggembirakan orang lain merupakan budi pekerti yang utama dalam Islam. Kata Nabi Muhammad saw, “Aku diutus menyempurnakan akhlak.”
Kepergian Husain untuk berperang melawan 4000-an pasukan bersenjata (bukan seperti teroris yang membunuh kaum sipil tak berdosa dan tanpa senjata), sebagaimana kesiapan Ismail as untuk mati, jadi teladan bahwa berkorban untuk orang lain sangat utama nilainya dibandingkan dengan ibadah ritual.
 
Nabi Muhammad saw sendiri mengajarkan, orang yang menyantuni janda dan orang miskin, misalnya, mendapat pahala seperti pejuang di jalan Allah, seperti halnya orang yang terus-menerus shalat malam dan terus-menerus puasa. Demikian pula mencari ilmu satu hari lebih utama nilainya dibandingkan dengan puasa tiga bulan. Sebaliknya, tidaklah beriman orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya kelaparan.
 
Walhasil, kita jadi bertanya, apakah koruptor yang berhaji masih bisa merasa tenang ketika masyarakat di sekeliling mereka, yang miskin dan terpinggirkan, akan menuntut haknya kepada Tuhan-nya orang lemah (Rabb al Mustadh’affin)? Islam menegaskan, doa kaum mustadh’affin atau tertindas sangat mustajab, apalagi jika para malaikat mengamini doa mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar