Rabu, 04 April 2012

PERBEDAAN AL-QUR’ĀN DAN SUNNAH : IMPLIKASI KEHUJJAHANNYA DALAM HUKUM ISLAM

A.            PENDAHULUAN

            Adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim untuk senantiasa mempertimbangkan kesesuaian setiap  perilaku dan perbuatannya dengan aturan hukum Islam.  Dua diantara empat sumber hukum yang disepakati oleh jumhur ahli Ushul adalah Al-Qur`ān dan Hadits.  Keduanya, sebagaimana diwasiatkan oleh Rasulullah SAW dalam khutbahnya ketika haji wada’, akan menjadi penuntun manusia agar terhindar dari kesesatan.  Untuk itu diperlukan pemahaman yang mendasar tentang kedua sumber hukum Islam yang utama tersebut. 
            Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, dijumpai beragam pemikiran tentang kedua sumber hukum Islam tersebut, termasuk pemikiran yang meragukan peran dan kehujjahan Hadits sebagai sumber Hukum Islam yang Kedua setelah Al-Qur`ān.  Karenanya diperlukan pembahasan dan analisa kritis berkaitan dengan diskursus Al-Qur`ān dan Hadits dalam Hukum Islam.

B.            PENGERTIAN AL-QUR`ĀN

            Meskipun seringkali dikatakan bahwa Al-Qur`ān tidak lagi membutuhkan pendefinisian, karena sudah sedemikian masyhur dan dikenal oleh semua orang, namun para ahli Ushul memberikan pendefinisian untuk kebutuhan istinbath hukum dan keperluan dalam bidang fikih lainnya.
            Secara bahasa, menurut Ar-Raghib Al-Ashfahani, Al-Qur`ān berasal dari kata qara`a – yaqra`u – qira`ah – wa qurānān yang mashdarnya seperti kufrān, rujhān dapat diartikan sebagai bacaan , seperti terdapat dalam Al-Qur`ān surat Al-Qiyāmah : 17 – 18 :
“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya
Ibnu Abbas mengomentari ayat tersebut bahwa istilah tersebut dikhususkan bagi kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan nama Al-Qur`ān dikarenakan Al-Qur`ān itu bersifat universal dan mencakup seluruh ilmu pengetahuan.[1]
            Secara istilah, Al-Qur`ān didefinisikan dalam berbagai ungkapan, yang banyak digunakan, diantaranya adalah “Kalāmullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang membacanya dinilai sebagai ibadah, yang disampaikan kepada kita dengan jalan mutawatir.[2]
            Berbagai definisi tentang Al-Qur`ān tersebut menunjukkan ciri-ciri dasar Al-Qur`ān yang meliputi : kedudukannnya sebagai kalamullah,  lafazh bahasa Arab, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, diriwayatkan secara mutawatir dan nilai ibadah yang dikandungnya.  Keseluruhan ciri-ciri dasar tersebut menjadi pembeda Al-Qur`ān dari yang selainnya.
            M. K.  Imam mendeskripsikan karakterisitik Al-Qur`ān dengan pendekatan teoritis fiqhy, dengan mengungkap bahwa Al-Qur`ān memiliki 3 karakteristik , yaitu :  Al-Qur`ān merupakan nash ilahi; universalitas nash Al-Qur`ān tersebut; dan keseluruhan Al-Qur`ān bersifat  qath’iy al-tsubūt ; dapat diyakini pasti berasal dari Allah SWT. [3]
           
C.            FUNGSI DAN KEHUJJAHAN AL-QUR`ĀN
            Tidak terdapat perselisihan pendapat diantara kaum muslimin tentang kehujjahan Al-Qur`ān; dalam pengertian diposisikan sebagai hujjah (argumentasi) yang kuat bagi mereka dan sekaligus sebagai hukum-hukum yang wajib ditaati karena kepastiannya berasal dari Allah SWT.  Kehujjahan seperti ini disepakati tanpa adanya perbedaan pendapat dari seluruh aliran pemikiran fiqih ( Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafi’i) dan kalam (Asy’ariyah, Maturidiyah, Mu’tazilah, Khawarij dan Syi’ah).  Kehujjahan Al Qur`an, disamping ditunjukkan oleh dalil-dalil dari Al-Qur`ān  itu sendiri,  oleh Wahbah Zuhaili ditambahkan dengan dalil-dalil dari sisi kemukjizatannya.[4]
            Meskipun Al-Qur`ān disifati sebagai qath’iy al-tsubūt , namun dari segi penunjukannya terhadap hukum-hukum terdapat nash-nash yang qath’iy al-dalalah dan zhanniy al-dalalah.
            Yang dimaksud dengan nash yang qath’iy al-dalalah adalah nash yang menunjukkan kepada arti yang jelas sekali untuk dipahami, hingga tidak dapat ditafsirkan dan dipahami dengan arti lain.  Sebagai contoh diantaranya ayat yang terdapat pada surat Al-Nisa` ayat 12  yang artinya sebagai berikut :

            “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak…….”

Penunjukan ayat tersebut jelas sekali sehingga tidak dapat dita`wilkan dan dipahami menurut arti selain yang ditunjuk oleh ayat itu sendiri.
            Adapun yang dimaksud dengan nash yang zhanniy al-dalalah ialah nash yang menunjuk kepada arti yang masih dapat dita`wilkan atau dialihkan kepada arti yang lain.  Misalnya, lafazh quru` yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 228 yang lafazh musytarak (memiliki lebih dari satu arti) sehingga dapat diartikan sebagai “suci” maupun “haidh”  yang berimplikasi pada perbedaan penetapan hukum masa iddah wanita yang diceraikan oleh suaminya.
 
            “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru`.”
           
            Nash-nash Al-Qur`ān  yang memakai lafazh musytarak, umum, mutlak, ataupun semisalnya adalah zhanniy al-dalalah.  Sebab lafazh-lafazh       tersebut dapat diartikan menurut sesuatu arti sebagaimana halnya dapat diartikan menurut arti yang lain. 
                Adanya nash-nash yang zhanniy al-dalalah meniscayakan terjadinya perbedaan interprestasi terhadap suatu nash, yang dengan dengan demikian sekaligus memberikan ruang interpretasi bagi para mujtahid selama mengacu pada arti-arti yang dibenarkan menurut kaidah dan gramatika bahasa arab.

D.            PENGERTIAN SUNNAH
            Sunnah secara bahasa diartikan sebagai “Jalan” baik yang terpuji ataupun yang tercela.  Dalam pengertian ini ialah sabda Nabi SAW ,  “Barangsiapa membuat sunnah yang terpuji maka baginya pahal sunnah itu dan pahala orang lain yang mengamalkannya,  dan barangsiapa menciptakan sunnah yang buruk maka padanya dosa sunnah buruk itu dan dosa orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat. (HR. Muslim)[5]
            Dalam pengertian ini sunnah yang dimaksud tersebut mencakup metode yang diikuti dan tata cara yang ditempuh sebagai sebuah tradisi dalam urusan agama ataupun selainnya, baik perkara yang terpuji maupun yang tercela.[6]
            Secara istilah,  sunnah didefinisikan dalam ungkapan yang beragam.  Perbedaan dalam pendefinisian ini terletak pada tujuan dan fokus yang dikehendaki oleh masing-masing kelompok ahli ilmu.   Berbagai perbedaan pendefinisian tersebut terungkap dalam uraian berikut :
            Para ahli hadits semata-mata membahas tentang Rasulullah SAW sebagai pemimpin pemberi petunjuk, yang disebutkan oleh Allah SWT sebagai contoh dan suri teladan dalam kehidupan. Karenanya, mereka mendefinisikan sunnah sebagai “Segala sesuatu yang didapatkan dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau budi pekerti ataupun biografi baik dari masa sebelum kenabian maupun sesudahnya.”
            Sedangkan para ahli Ushul semata-mata membahas tentang Rasulullah Saw sebagai penetap syari’at yang meletakkan pondasi bagi para mujtahid di masa berikutnya, dan yang menjelaskan aturan kehidupan bagi manusia.  Karenanya mereka mendefinisikan sunnah sebagai “Segala sesuatu yang diambil dari Nabi SAW yang terdiri dari perkataan, perbuatan dan persetujuan.”
            Adapun para ahli fiqh membahas semata-mata tentang Nabi SAW dari sisi bahwa keseluruhan tindakan beliau tersebut tidak keluar dari fungsinya sebagai petunjuk untuk suatu hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari segi hukum wajib, haram, mubah, dan seterusnya.  Dengan demikian, para ahli fiqih mendefinisikan sunnah sebagai “suatu hukum yang jelas berasal dari Nabi SAW yang tidak termasuk fardhu ataupun wajib, dan sunnah itu ada bersama wajib dan lain-lain dalam hukum yang lima.[7]
            Disamping itu, adakalanya makna sunnah diartikan menunjuk kepada apa-apa yang diamalkan oleh para Sahabat RA baik itu yang bersumber dari Al-Qur`ān  ataupun dari Nabi SAW, sebagaimana dikutip oleh M. Ajjaj al-Khathib dari al –Muwafaqat.[8]
            Adakalanya pula, sunnah dipahami sebagai lawan dari kata bid’ah; sesuatu urusan  yang baru , dibuat kemudian.  Dalam pengertian ini, sunnah diartikan “Amal yang bersesuaian dengan apa yang telah dilakukan oleh Nabi SAW baik yang nashnya tercantum dalam Al-Qur`ān  maupun tidak.[9]
            Dalam hal ini,  pemakalah cenderung mengambil pengertian sunnah berdasarkan definisi yang diberikan oleh ahli hadits, yang mana dalam pengertian ini, sunnah merupakan sinonim dari hadits sebagaimana juga dianut oleh jumhur ahli hadits, meskipun sebagian kalangan membedakan antara sunnah dengan hadits, sebagaimana ahli ushul beranggapan bahwa sunnah mencakup pengertian yang lebih umum dari hadits; meliputi  perkataan, perbuatan dan persetujuan; sementara hadits merupakan sunnah qauliyah.

E.            FUNGSI DAN KEHUJJAHAN SUNNAH
            Secara umum, sunnah (Hadits Nabi SAW) merupakan penafsiran Al-Qur`ān  dalam praktik atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal.  Dalam hal ini , umat Islam telah bersepakat  bahwa apa-apa yang bersumber dari Rasulullah SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun persetujuan merupakan bagian dari syari’at, yang dengan dengan demikian sunnah memiliki kedudukan yang kuat sebagai hujjah dan sumber syari’at islam yang kedua. 
            Kehujjahan sunnah dalam pengertian kekokohan nashnya (tsubut) dan kewajiban beramal dengannya, dikukuhkan dengan dalil-dali dari Al-Qur`ān , sunnah itu sendiri, Ijma’ sahabat.[10]  Sumber lain menambahkan kuatnya kehujjahan sunnah ini dengan dalil ‘aqli (ma’qul).[11]   Karenanya, pengingkaran terhadap kehujjahan sunnah secara terang-terangan menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. [12]

Hubungan antara Al-Qur`ān  dengan sunnah

Dalam hubungannya dengan Al-Qur`ān  , sunnah memiliki fungsi sebagai berikut [13]: 
1.  Mengokohkan hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur`ān  (ta`kīd al-ahkām), dalam hal ini Al-Qur`ān  sebagai sumber yang menetapkan hukum sedangkan sunnah sebagai sumber yang menguatkannya.  Hubungan seperti dapat dicontohkan dengan kewajiban shalat, puasa dan zakat yang ditetapkan oleh Al-Qur`ān  dalam berbagai ayat dan kemudian dikuatkan oleh berbagai hadits diantaranya hadits tentang Rukun Islam.
2.  Penjelasan dari Al-Qur`ān  (bayān li al-qur’an), yang meliputi fungsi antara lain :
a.       Memberikan perincian hal-hal yang masih global;  seperti tata cara sholat dan manasik haji yang dijelaskan oleh sunnah sebagai rincian dari perintah yang terdapat dalam Al-Qur`ān
b.       Membatasi sesuatu yang mutlak;  seperti pada hadits tentang pembatasan maksimal 1/3 harta wasiat dari ketentuan wasiat yang tercantum dalam Al-Qur`ān .
c.        Mengkhususkan yang umum; seperti pada hadists yang berisi pengecualian ikan dan belalalang dari pengharaman bangkai dalam al-qur’an.
d.       Menambah hukum baru di luar yang telah ditetapkan oleh Al-Qur`ān ;  seperti pada hadits tentang pengharaman binatang yang bertaring dan berkuku tajam yang tidak tercantum dalam al-qur’an.

Qath’iy dan zhanniy dalam Sunnah

            Sesuai dengan pembagian hadits berdasarkan banyaknya perawi, maka sunnah memiliki tingkatan dalam hal             Qath’iy dan zhanniy. 
            Sunnah mutawatir, dikarenakan begitu banyaknya perawi yang meriwayatkan, dapat dikategorikan sebagai qath’iy al-tsubūt ‘an  al-nabiy.  Dalam hal penunjukan dalilnya,  terdapat sunnah mutawatir yang menunjuk kepada satu arti dan tidak memungkinkan penafsiran kepada arti yang lain (qath’iy al-dalālah); dan ada pula yang menunjuk kepada beberapa arti, sehingga dimungkinkan terjadinya perbedaan interpretasi berdasarkan arti yang ditunjukkan oleh lafazh dimaksud (zhanniy al-dalālah).
            Sunnah Masyhur, dari sisi jumlah perawinya tidak mencapi derajat mutawatir, dikaterikan sebagai qath’iy al-tsubūt ‘an  al-shahabiy.  Sebagian ulama Hanafi menggolongkannya sama dengan hadits mutawatir.[14]              
            Adapun sunnah Ahad, dikarenakan sedikitnya perawi yang meriwayatkan, maka diduga kuat berasal dari Rasulullah SAW (zhanniy al-tsubūt ‘an  al-nabiy).  Adapun dari sisi penunjukan dalilnya, sebagaimana sunnah mutawatir, juga terdapat sunnah yang disifati sebagai qath’iy al-dalālah  dan zhanniy al-dalālah berdasarkan lafazh yang dikandungnya. 
            Sebagaimana pada Al-Qur’an, sunnah yang mengandung penunjukan dalil zhanniy, ditunjukkan oleh adanya lafazh-lafazh yang musytarak, umum, mutlak maupun lafazh lain yang semisalnya.
             Dengan demikian, bila dibandingkan antara Al-Qur`ān  dengan sunnah dari sisi wurūd dan dalālah, maka dapat dijelaskan sebagai berikut :
            Al-Qur`ān  seluruhnya diyakini sebagai qath’iy al-tsubūt.  Dalam kandungan alqur’an tersebut, diantara ayat-ayatnya ada yang menunjuk kepada arti yang pasti (qath’iy al-dalālah ) dan ada pula yang mengandung beberapa arti dan memungkinkan adanya perbedaan interpretasi  (zhanniy al-dalālah).              
            Sedangkan sunnah ada yang disifati sebagai qath’iy al-tsubūt dan ada pula yang zhanniy al-tsubūt.  Masing-masing dari keduanya, dalam hal penunjukan dalil dan kandungan arti, ada yang qath’iy al-dalālah  dan ada pula yang zhanniy al-dalālah.[15]
            Perbedaan kualitas dari sisi wurūd dan dalālah, berimplikasi pada tingkatan penggunaannya sebagai sumber hukum islam.  Ayat-ayat dan sunnah yang memiliki derajat qath’iy  dapat diyakini pasti kebenaran sumber hukumnya dari Allah SWT.  Adapun sunnah yang qath’iy dari sisi wurud nya meskipun berstatus qath’iy al-tsubūt ‘an  al-nabiy , namun pada hakekatnya dapat dipandang berasal dari Allah SWT.
            Sementara itu, ayat-ayat dan hadits memiliki derajat qath’iy dari sisi dalālah, diyakini memiliki penunjukan arti yang pasti dan tegas, sehingga tidak dimungkinkan adanya perbedaan interpretasi terhadap lafazh-lafazh tersebut.  Sedangkan ayat-ayat dan hadits yang memiliki derajat zhanniy diyakini sebagai “diduga kuat memiliki arti tertentu”, karena memiliki beberapa arti, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan interpretasi.  Pada tataran inilah ruang interpretasi dan ijtihad terbuka lebar bagi para mujtahid selama mengacu pada arti-arti yang  dibenarkan sesuai kaidah dan gramatika bahasa arab.

F.             PENUTUP
Al-Qur`ān sebagai Sumber Utama dan Pertama dalam Hukum Islam  diyakini berasal dari Allah SWT baik lafazh maupun maknanya secara mutawātir, memiliki sifat Qath’iy dari sisinya wurudnya (qath’iy al-tsubūt) ,  meliputi ayat-ayat yang dari segi penunjukan dalilnya bersifat pasti (qath’iy al-dalālah) dan yang bersifat dugaan kuat (zhanniy al-dalālah).
Sunnah, sebagai sumber kedua Hukum Islam berfungsi sebagai penjelas dan penguat dari Al-Qur`ān.  Adapun dari sisi eksistensinya, ada yang diyakini pasti berasal dari Rasul SAW (qath’iy al-tsubūt ‘an  al-nabiy) berupa Hadits Mutawatir,  yang diyakini pasti berasal dari Sahabat (qath’iy al-tsubūt ‘an  al-shahābiy) namun tidak sepenuhnya dapat diyakini pasti berasal dari Rasulullah SAW berupa Hadits Masyhur, dan yang diduga keras berasal dari Rasulullah SAW (zhanniy al-tsubūt ‘an  al-nabiy)  berupa Hadits Ahad.

BAHAN BACAAN

Al-Khathīb, Mu­hammad ‘Ajjaj,   Ushūl al-Hadīts : ‘Ulūmuhu wa Mushthalāhuhu  (Beirut,  Dar al-Fikr,  1989)

Al-Qaththān,  Mannā’,    Al-Tasyri’ wa al-Fiqh fī al-Islām : Tārīkhān wa Manhājān  (Kairo,  Maktabah Wahbah,  1989)

Al-Qaththān,  Mannā’,   Mabāhits fī ‘Ulūm al-Qur`an   (Riyādh,   Mansyurat al-‘Ashr al-Hadīts,  1973)

Al-Sibā’iy, Musthafa,   Al-Sunnah wa Makānatuhā fi al-Tasyri’ al-Islāmiy – Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam  terjemahan Nurcholish Madjid  (Jakarta, Pustaka Firdaus,  1993)

Al-Thahhān,  Mahmud,   Taysīr Mushthalāh al-Hadīts  ( Riyādh,  Maktabah al-Madīnah, 1976)

Imām, Mu­hammad Kamāluddin,  Nazhariyyah al-Fiqh fī al-Islam : Madkhal Minhājiy   (Beirut,  al-Muassasah al-Jāmi’iyyah al-Dirāsat wa al-Nasyr  wa al-Tauzi’,  1998)

Ismā’il, Sya’bān Muhammad,  Dirāsāt Hawla al-Qur`an wa al-Sunnah  (Kairo,  Maktabah al-Nahdhah al-Mu’āshirah ,  1987)

Syaltut, Mahmud ,    Al-Islam : ‘Aqidah wa Syari’ah – Islam : Aqidah dan Syari’ah  terjemahan Abdurrahman Zain  (Jakarta, Pustaka Amani, 1986)

Yahya, Mukhtar dan Fatkhurrahman,  Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami  (Bandung,  Al Ma’arif,  1986)

Zuhailiy, Wahbah,   Ushūl al-Fiqh al-Islāmiy,  Jilid I, (Beirut, Dar al-Fikr, 1986)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar