A. PENDAHULUAN
Adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim untuk senantiasa mempertimbangkan kesesuaian setiap perilaku dan perbuatannya dengan aturan hukum Islam. Dua diantara empat sumber hukum yang disepakati oleh jumhur ahli Ushul adalah Al-Qur`ān dan Hadits. Keduanya,
sebagaimana diwasiatkan oleh Rasulullah SAW dalam khutbahnya ketika
haji wada’, akan menjadi penuntun manusia agar terhindar dari kesesatan. Untuk itu diperlukan pemahaman yang mendasar tentang kedua sumber hukum Islam yang utama tersebut.
Dalam
sejarah perkembangan hukum Islam, dijumpai beragam pemikiran tentang
kedua sumber hukum Islam tersebut, termasuk pemikiran yang meragukan
peran dan kehujjahan Hadits sebagai sumber Hukum Islam yang Kedua
setelah Al-Qur`ān. Karenanya diperlukan pembahasan dan analisa kritis berkaitan dengan diskursus Al-Qur`ān dan Hadits dalam Hukum Islam.
B. PENGERTIAN AL-QUR`ĀN
Meskipun
seringkali dikatakan bahwa Al-Qur`ān tidak lagi membutuhkan
pendefinisian, karena sudah sedemikian masyhur dan dikenal oleh semua
orang, namun para ahli Ushul memberikan pendefinisian untuk kebutuhan istinbath hukum dan keperluan dalam bidang fikih lainnya.
Secara bahasa, menurut Ar-Raghib Al-Ashfahani, Al-Qur`ān berasal dari kata qara`a – yaqra`u – qira`ah – wa qurānān yang mashdarnya seperti kufrān, rujhān dapat diartikan sebagai bacaan , seperti terdapat dalam Al-Qur`ān surat Al-Qiyāmah : 17 – 18 :
“Sesungguhnya
atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka
ikutilah bacaannya”
Ibnu
Abbas mengomentari ayat tersebut bahwa istilah tersebut dikhususkan
bagi kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan nama
Al-Qur`ān dikarenakan Al-Qur`ān itu bersifat universal dan mencakup
seluruh ilmu pengetahuan.[1]
Secara
istilah, Al-Qur`ān didefinisikan dalam berbagai ungkapan, yang banyak
digunakan, diantaranya adalah “Kalāmullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, yang membacanya dinilai sebagai ibadah, yang disampaikan
kepada kita dengan jalan mutawatir.[2]
Berbagai
definisi tentang Al-Qur`ān tersebut menunjukkan ciri-ciri dasar
Al-Qur`ān yang meliputi : kedudukannnya sebagai kalamullah, lafazh bahasa Arab, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, diriwayatkan secara mutawatir dan nilai ibadah yang dikandungnya. Keseluruhan ciri-ciri dasar tersebut menjadi pembeda Al-Qur`ān dari yang selainnya.
M. K. Imam
mendeskripsikan karakterisitik Al-Qur`ān dengan pendekatan teoritis
fiqhy, dengan mengungkap bahwa Al-Qur`ān memiliki 3 karakteristik ,
yaitu : Al-Qur`ān merupakan nash ilahi; universalitas nash Al-Qur`ān tersebut; dan keseluruhan Al-Qur`ān bersifat qath’iy al-tsubūt ; dapat diyakini pasti berasal dari Allah SWT. [3]
C. FUNGSI DAN KEHUJJAHAN AL-QUR`ĀN
Tidak
terdapat perselisihan pendapat diantara kaum muslimin tentang
kehujjahan Al-Qur`ān; dalam pengertian diposisikan sebagai hujjah
(argumentasi) yang kuat bagi mereka dan sekaligus sebagai hukum-hukum
yang wajib ditaati karena kepastiannya berasal dari Allah SWT. Kehujjahan
seperti ini disepakati tanpa adanya perbedaan pendapat dari seluruh
aliran pemikiran fiqih ( Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafi’i) dan kalam
(Asy’ariyah, Maturidiyah, Mu’tazilah, Khawarij dan Syi’ah). Kehujjahan Al Qur`an, disamping ditunjukkan oleh dalil-dalil dari Al-Qur`ān itu sendiri, oleh Wahbah Zuhaili ditambahkan dengan dalil-dalil dari sisi kemukjizatannya.[4]
Meskipun Al-Qur`ān disifati sebagai qath’iy al-tsubūt , namun dari segi penunjukannya terhadap hukum-hukum terdapat nash-nash yang qath’iy al-dalalah dan zhanniy al-dalalah.
Yang dimaksud dengan nash yang qath’iy al-dalalah
adalah nash yang menunjukkan kepada arti yang jelas sekali untuk
dipahami, hingga tidak dapat ditafsirkan dan dipahami dengan arti lain. Sebagai contoh diantaranya ayat yang terdapat pada surat Al-Nisa` ayat 12 yang artinya sebagai berikut :
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak…….”
Penunjukan
ayat tersebut jelas sekali sehingga tidak dapat dita`wilkan dan
dipahami menurut arti selain yang ditunjuk oleh ayat itu sendiri.
Adapun yang dimaksud dengan nash yang zhanniy al-dalalah ialah nash yang menunjuk kepada arti yang masih dapat dita`wilkan atau dialihkan kepada arti yang lain. Misalnya, lafazh quru` yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 228 yang lafazh musytarak (memiliki lebih dari satu arti) sehingga dapat diartikan sebagai “suci” maupun “haidh” yang berimplikasi pada perbedaan penetapan hukum masa iddah wanita yang diceraikan oleh suaminya.
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru`.”
Nash-nash Al-Qur`ān yang memakai lafazh musytarak, umum, mutlak, ataupun semisalnya adalah zhanniy al-dalalah. Sebab lafazh-lafazh tersebut dapat diartikan menurut sesuatu arti sebagaimana halnya dapat diartikan menurut arti yang lain.
Adanya nash-nash yang zhanniy al-dalalah meniscayakan
terjadinya perbedaan interprestasi terhadap suatu nash, yang dengan
dengan demikian sekaligus memberikan ruang interpretasi bagi para
mujtahid selama mengacu pada arti-arti yang dibenarkan menurut kaidah
dan gramatika bahasa arab.
D. PENGERTIAN SUNNAH
Sunnah secara bahasa diartikan sebagai “Jalan” baik yang terpuji ataupun yang tercela. Dalam pengertian ini ialah sabda Nabi SAW , “Barangsiapa membuat sunnah yang terpuji maka baginya pahal sunnah itu dan pahala orang lain yang mengamalkannya, dan
barangsiapa menciptakan sunnah yang buruk maka padanya dosa sunnah
buruk itu dan dosa orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat. (HR.
Muslim)[5]
Dalam
pengertian ini sunnah yang dimaksud tersebut mencakup metode yang
diikuti dan tata cara yang ditempuh sebagai sebuah tradisi dalam urusan
agama ataupun selainnya, baik perkara yang terpuji maupun yang tercela.[6]
Secara istilah, sunnah didefinisikan dalam ungkapan yang beragam. Perbedaan dalam pendefinisian ini terletak pada tujuan dan fokus yang dikehendaki oleh masing-masing kelompok ahli ilmu. Berbagai perbedaan pendefinisian tersebut terungkap dalam uraian berikut :
Para
ahli hadits semata-mata membahas tentang Rasulullah SAW sebagai
pemimpin pemberi petunjuk, yang disebutkan oleh Allah SWT sebagai contoh
dan suri teladan dalam kehidupan. Karenanya, mereka mendefinisikan
sunnah sebagai “Segala sesuatu yang didapatkan dari Nabi SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau budi pekerti
ataupun biografi baik dari masa sebelum kenabian maupun sesudahnya.”
Sedangkan
para ahli Ushul semata-mata membahas tentang Rasulullah Saw sebagai
penetap syari’at yang meletakkan pondasi bagi para mujtahid di masa
berikutnya, dan yang menjelaskan aturan kehidupan bagi manusia. Karenanya
mereka mendefinisikan sunnah sebagai “Segala sesuatu yang diambil dari
Nabi SAW yang terdiri dari perkataan, perbuatan dan persetujuan.”
Adapun
para ahli fiqh membahas semata-mata tentang Nabi SAW dari sisi bahwa
keseluruhan tindakan beliau tersebut tidak keluar dari fungsinya sebagai
petunjuk untuk suatu hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan
manusia dari segi hukum wajib, haram, mubah, dan seterusnya. Dengan
demikian, para ahli fiqih mendefinisikan sunnah sebagai “suatu hukum
yang jelas berasal dari Nabi SAW yang tidak termasuk fardhu ataupun
wajib, dan sunnah itu ada bersama wajib dan lain-lain dalam hukum yang lima.[7]
Disamping
itu, adakalanya makna sunnah diartikan menunjuk kepada apa-apa yang
diamalkan oleh para Sahabat RA baik itu yang bersumber dari Al-Qur`ān ataupun dari Nabi SAW, sebagaimana dikutip oleh M. Ajjaj al-Khathib dari al –Muwafaqat.[8]
Adakalanya pula, sunnah dipahami sebagai lawan dari kata bid’ah; sesuatu urusan yang baru , dibuat kemudian. Dalam
pengertian ini, sunnah diartikan “Amal yang bersesuaian dengan apa yang
telah dilakukan oleh Nabi SAW baik yang nashnya tercantum dalam
Al-Qur`ān maupun tidak.[9]
Dalam hal ini, pemakalah
cenderung mengambil pengertian sunnah berdasarkan definisi yang
diberikan oleh ahli hadits, yang mana dalam pengertian ini, sunnah
merupakan sinonim dari hadits sebagaimana juga dianut oleh jumhur ahli
hadits, meskipun sebagian kalangan membedakan antara sunnah dengan
hadits, sebagaimana ahli ushul beranggapan bahwa sunnah mencakup
pengertian yang lebih umum dari hadits; meliputi perkataan, perbuatan dan persetujuan; sementara hadits merupakan sunnah qauliyah.
E. FUNGSI DAN KEHUJJAHAN SUNNAH
Secara umum, sunnah (Hadits Nabi SAW) merupakan penafsiran Al-Qur`ān dalam praktik atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Dalam hal ini , umat Islam telah bersepakat bahwa
apa-apa yang bersumber dari Rasulullah SAW baik berupa perkataan,
perbuatan maupun persetujuan merupakan bagian dari syari’at, yang dengan
dengan demikian sunnah memiliki kedudukan yang kuat sebagai hujjah dan
sumber syari’at islam yang kedua.
Kehujjahan sunnah dalam pengertian kekokohan nashnya (tsubut) dan kewajiban beramal dengannya, dikukuhkan dengan dalil-dali dari Al-Qur`ān , sunnah itu sendiri, Ijma’ sahabat.[10] Sumber lain menambahkan kuatnya kehujjahan sunnah ini dengan dalil ‘aqli (ma’qul).[11] Karenanya, pengingkaran terhadap kehujjahan sunnah secara terang-terangan menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. [12]
Hubungan antara Al-Qur`ān dengan sunnah
Dalam hubungannya dengan Al-Qur`ān , sunnah memiliki fungsi sebagai berikut [13]:
1. Mengokohkan hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur`ān (ta`kīd al-ahkām), dalam hal ini Al-Qur`ān sebagai sumber yang menetapkan hukum sedangkan sunnah sebagai sumber yang menguatkannya. Hubungan seperti dapat dicontohkan dengan kewajiban shalat, puasa dan zakat yang ditetapkan oleh Al-Qur`ān dalam berbagai ayat dan kemudian dikuatkan oleh berbagai hadits diantaranya hadits tentang Rukun Islam.
2. Penjelasan dari Al-Qur`ān (bayān li al-qur’an), yang meliputi fungsi antara lain :
a. Memberikan perincian hal-hal yang masih global; seperti
tata cara sholat dan manasik haji yang dijelaskan oleh sunnah sebagai
rincian dari perintah yang terdapat dalam Al-Qur`ān
b. Membatasi sesuatu yang mutlak; seperti pada hadits tentang pembatasan maksimal 1/3 harta wasiat dari ketentuan wasiat yang tercantum dalam Al-Qur`ān .
c. Mengkhususkan
yang umum; seperti pada hadists yang berisi pengecualian ikan dan
belalalang dari pengharaman bangkai dalam al-qur’an.
d. Menambah hukum baru di luar yang telah ditetapkan oleh Al-Qur`ān ; seperti pada hadits tentang pengharaman binatang yang bertaring dan berkuku tajam yang tidak tercantum dalam al-qur’an.
Qath’iy dan zhanniy dalam Sunnah
Sesuai dengan pembagian hadits berdasarkan banyaknya perawi, maka sunnah memiliki tingkatan dalam hal Qath’iy dan zhanniy.
Sunnah mutawatir, dikarenakan begitu banyaknya perawi yang meriwayatkan, dapat dikategorikan sebagai qath’iy al-tsubūt ‘an al-nabiy. Dalam hal penunjukan dalilnya, terdapat sunnah mutawatir yang menunjuk kepada satu arti dan tidak memungkinkan penafsiran kepada arti yang lain (qath’iy al-dalālah);
dan ada pula yang menunjuk kepada beberapa arti, sehingga dimungkinkan
terjadinya perbedaan interpretasi berdasarkan arti yang ditunjukkan oleh
lafazh dimaksud (zhanniy al-dalālah).
Sunnah Masyhur, dari sisi jumlah perawinya tidak mencapi derajat mutawatir, dikaterikan sebagai qath’iy al-tsubūt ‘an al-shahabiy. Sebagian ulama Hanafi menggolongkannya sama dengan hadits mutawatir.[14]
Adapun sunnah Ahad, dikarenakan sedikitnya perawi yang meriwayatkan, maka diduga kuat berasal dari Rasulullah SAW (zhanniy al-tsubūt ‘an al-nabiy). Adapun dari sisi penunjukan dalilnya, sebagaimana sunnah mutawatir, juga terdapat sunnah yang disifati sebagai qath’iy al-dalālah dan zhanniy al-dalālah berdasarkan lafazh yang dikandungnya.
Sebagaimana pada Al-Qur’an, sunnah yang mengandung penunjukan dalil zhanniy, ditunjukkan oleh adanya lafazh-lafazh yang musytarak, umum, mutlak maupun lafazh lain yang semisalnya.
Dengan demikian, bila dibandingkan antara Al-Qur`ān dengan sunnah dari sisi wurūd dan dalālah, maka dapat dijelaskan sebagai berikut :
Al-Qur`ān seluruhnya diyakini sebagai qath’iy al-tsubūt. Dalam kandungan alqur’an tersebut, diantara ayat-ayatnya ada yang menunjuk kepada arti yang pasti (qath’iy al-dalālah ) dan ada pula yang mengandung beberapa arti dan memungkinkan adanya perbedaan interpretasi (zhanniy al-dalālah).
Sedangkan sunnah ada yang disifati sebagai qath’iy al-tsubūt dan ada pula yang zhanniy al-tsubūt. Masing-masing dari keduanya, dalam hal penunjukan dalil dan kandungan arti, ada yang qath’iy al-dalālah dan ada pula yang zhanniy al-dalālah.[15]
Perbedaan kualitas dari sisi wurūd dan dalālah, berimplikasi pada tingkatan penggunaannya sebagai sumber hukum islam. Ayat-ayat dan sunnah yang memiliki derajat qath’iy dapat diyakini pasti kebenaran sumber hukumnya dari Allah SWT. Adapun sunnah yang qath’iy dari sisi wurud nya meskipun berstatus qath’iy al-tsubūt ‘an al-nabiy , namun pada hakekatnya dapat dipandang berasal dari Allah SWT.
Sementara itu, ayat-ayat dan hadits memiliki derajat qath’iy dari sisi dalālah,
diyakini memiliki penunjukan arti yang pasti dan tegas, sehingga tidak
dimungkinkan adanya perbedaan interpretasi terhadap lafazh-lafazh
tersebut. Sedangkan ayat-ayat dan hadits yang memiliki derajat zhanniy diyakini
sebagai “diduga kuat memiliki arti tertentu”, karena memiliki beberapa
arti, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan interpretasi. Pada tataran inilah ruang interpretasi dan ijtihad terbuka lebar bagi para mujtahid selama mengacu pada arti-arti yang dibenarkan sesuai kaidah dan gramatika bahasa arab.
F. PENUTUP
Al-Qur`ān sebagai Sumber Utama dan Pertama dalam Hukum Islam diyakini berasal dari Allah SWT baik lafazh maupun maknanya secara mutawātir, memiliki sifat Qath’iy dari sisinya wurudnya (qath’iy al-tsubūt) , meliputi ayat-ayat yang dari segi penunjukan dalilnya bersifat pasti (qath’iy al-dalālah) dan yang bersifat dugaan kuat (zhanniy al-dalālah).
Sunnah, sebagai sumber kedua Hukum Islam berfungsi sebagai penjelas dan penguat dari Al-Qur`ān. Adapun dari sisi eksistensinya, ada yang diyakini pasti berasal dari Rasul SAW (qath’iy al-tsubūt ‘an al-nabiy) berupa Hadits Mutawatir, yang diyakini pasti berasal dari Sahabat (qath’iy al-tsubūt ‘an al-shahābiy) namun
tidak sepenuhnya dapat diyakini pasti berasal dari Rasulullah SAW
berupa Hadits Masyhur, dan yang diduga keras berasal dari Rasulullah SAW
(zhanniy al-tsubūt ‘an al-nabiy) berupa Hadits Ahad.
BAHAN BACAAN
Al-Khathīb, Muhammad ‘Ajjaj, Ushūl al-Hadīts : ‘Ulūmuhu wa Mushthalāhuhu (Beirut, Dar al-Fikr, 1989)
Al-Qaththān, Mannā’, Al-Tasyri’ wa al-Fiqh fī al-Islām : Tārīkhān wa Manhājān (Kairo, Maktabah Wahbah, 1989)
Al-Qaththān, Mannā’, Mabāhits fī ‘Ulūm al-Qur`an (Riyādh, Mansyurat al-‘Ashr al-Hadīts, 1973)
Al-Sibā’iy, Musthafa, Al-Sunnah wa Makānatuhā fi al-Tasyri’ al-Islāmiy – Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam terjemahan Nurcholish Madjid (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1993)
Al-Thahhān, Mahmud, Taysīr Mushthalāh al-Hadīts ( Riyādh, Maktabah al-Madīnah, 1976)
Imām, Muhammad Kamāluddin, Nazhariyyah al-Fiqh fī al-Islam : Madkhal Minhājiy (Beirut, al-Muassasah al-Jāmi’iyyah al-Dirāsat wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1998)
Ismā’il, Sya’bān Muhammad, Dirāsāt Hawla al-Qur`an wa al-Sunnah (Kairo, Maktabah al-Nahdhah al-Mu’āshirah , 1987)
Syaltut, Mahmud , Al-Islam : ‘Aqidah wa Syari’ah – Islam : Aqidah dan Syari’ah terjemahan Abdurrahman Zain (Jakarta, Pustaka Amani, 1986)
Yahya, Mukhtar dan Fatkhurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami (Bandung, Al Ma’arif, 1986)
Zuhailiy, Wahbah, Ushūl al-Fiqh al-Islāmiy, Jilid I, (Beirut, Dar al-Fikr, 1986)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar