KAJIAN BAHASA
1. Lafazh ghariiban ;
yang merupakan derivasi (kata turunan) dari lafazh al-Ghurbah memiliki
dua makna: pertama, makna yang bersifat fisik seperti seseorang hidup di
negeri orang lain (bukan negeri sendiri) sebagai orang asing. Kedua,
bersifat maknawi -makna inilah yang dimaksud disini- yaitu bahwa
seseorang dalam keistiqamahannya, ibadahnya, berpegang teguh dengan
agama dan menghindari fitnah-fitnah yang timbul adalah merupakan orang
yang asing di tengah kaum yang tidak memiliki prinsip seperti demikian.
Keterasingan ini bersifat relatif sebab terkadang seseorang merasa asing
di suatu tempat namun tidak di tempat lainnya, atau pada masa tertentu
merasa asing namun pada masa lainnya tidak demikian.
2. Makna kalimat " bada-al Islamu ghariibaa [Islam dimulai dalam kondisi asing]" :
ia dimulai dengan (terhimpunnya) orang per-orang (yang masuk Islam),
kemudian menyebar dan menampakkan diri, kemudian akan mengalami surut
dan berbagai ketidakberesan hingga tidak tersisa lagi selain orang
per-orang (yang berpegang teguh kepadanya) sebagaimana kondisi ia
dimulai.
3. Makna kalimat " fa thuuba lil ghurabaa' [maka berbahagialah bagi kaum ghuraba' (orang-orang yang asing tersebut) ] " : Para ulama berbeda pendapat mengenai makna lafazh thuuba . Terdapat beberapa makna, diantaranya: fariha wa qurratu 'ain (berbahagia dan terasa sejuklah di pandang mata); ni'ma maa lahum (alangkah baiknya apa yang mereka dapatkan); ghibthatan lahum (kesukariaanlah bagi mereka); khairun lahum wa karaamah (kebaikan serta kemuliaanlah bagi mereka); al-Jannah (surga); syajaratun fil jannah (sebuah pohon di surga). Semua pendapat ini dimungkinkan maknanya dalam pengertian hadits diatas.
1. Hadits tersebut menunjukkan betapa besar keutamaan para Shahabat radhiallaahu 'anhum yang telah masuk Islam pada permulaan diutusnya Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam karena karakteristik tentang ghuraba' tersebut sangat pas buat mereka. Keterasingan (ghurbah)
yang mereka alami adalah bersifat maknawi dimana kondisi mereka
menyelisihi kondisi yang sudah berlaku di tengah kaum mereka yang telah
terwabahi oleh kesyirikan dan kesesatan.
2. Berpegang teguh kepada Dienullah, beristiqamah dalam menjalankannya serta mengambil suri teladan Nabi kita, Muhammad Shallallâhu 'alaihi wasallam adalah merupakan sifat seorang Mukmin yang haq yang mengharapkan pahala sebagaimana yang diraih oleh kaum ghuraba' tersebut
meskipun (dalam menggapai hal tersebut) kebanyakan orang yang
menentangnya. Yang menjadi tolok ukur adalah berpegang teguh kepada
al-Haq, bukan kondisi yang berlaku dan dilakukan oleh kebanyakan orang.
Allah Ta'ala berfirman: "Dan jika kamu menuruti kebanyakan
orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari
jalan-Nya..." (Q.S. 6:116).
3. Besarnya pahala yang akan diraih oleh kaum ghuraba' serta tingginya kedudukan mereka. Yang dimaksud adalah kaum ghuraba' terhadap
agamanya alias mereka menjadi asing lantaran berpegang teguh kepada
al-Haq dan beristiqamah terhadapnya, bukan mereka yang jauh dari negeri
asalnya dan menjadi asing disana.
4. Dalam beberapa riwayat, dinyatakan bahwa makna al-Ghuraba' adalah
orang yang baik/lurus manakala kondisi manusia sudah rusak. Juga
terdapat makna; mereka adalah orang yang memperbaiki apa yang telah
dirusak oleh manusia. Ini menunjukkan bahwa kelurusan jiwa semata tidak
cukup akan tetapi harus ada upaya yang dilakukan secara bijak, lemah
lembut dan penuh kasih sayang dalam memperbaiki kondisi manusia yang
sudah rusak agar label ghuraba' yang dipuji dalam hadits diatas dapat ditempelkan kepada seorang Mukmin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar